PRONEWSNUSANTARA- keputusan penggantian pejabat oleh Bupati dalam konteks Pilkada Serentak mengundang pertanyaan mendalam: apakah keputusan pembatalan tersebut secara otomatis menghapus kesalahan atau pelanggaran terhadap Pasal 71 ayat (2) UU Pilkada yang sudah terjadi sebelumnya?
Untuk menjawabnya, kita perlu menelaah berbagai aspek hukum dan etika yang terlibat.
Larangan Penggantian Pejabat dalam UU Pilkada
Pasal 71 ayat (2) UU Pilkada secara tegas melarang Bupati yang sedang menjabat untuk melakukan penggantian pejabat enam bulan sebelum penetapan pasangan calon hingga akhir masa jabatannya, kecuali dengan persetujuan tertulis dari Menteri Dalam Negeri.
Larangan ini bertujuan menjaga integritas dan keadilan dalam proses Pilkada dengan menghindari kecurangan atau penyalahgunaan wewenang.
Implikasi Hukum dari Pembatalan Keputusan
Dalam praktiknya, beberapa Bupati melanggar ketentuan ini dengan melakukan penggantian pejabat tanpa izin yang diperlukan.
Kasus di Kota Kupang dan Kabupaten Boalemo pada Pilkada Serentak 2017 memberikan ilustrasi yang relevan.
Di Kupang, keputusan penggantian pejabat yang dilakukan tanpa persetujuan Menteri sempat dibatalkan setelah intervensi Bawaslu dan KPU.
Namun, meski keputusan baru dikeluarkan, pelanggaran awal tetap dicatat.
Majelis Hakim Mahkamah Agung dalam kasus Boalemo menegaskan bahwa pelanggaran terhadap Pasal 71 ayat (2) tidak dihapuskan hanya dengan pembatalan keputusan penggantian pejabat.
Meskipun keputusan baru dapat membatalkan keputusan lama, pelanggaran yang telah terjadi tetap memiliki konsekuensi hukum yang harus diperhitungkan.
Aspek Etika dalam Penggantian Pejabat
Lebih jauh, penggantian pejabat tanpa persetujuan Menteri juga melanggar etika pejabat publik.
Ini mencerminkan kurangnya penghargaan terhadap wewenang yang diberikan dan melecehkan peran Menteri Dalam Negeri.
Etika pejabat publik mengharuskan transparansi dan kepatuhan terhadap peraturan yang berlaku.
Kesimpulan dan Harapan
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa pembatalan keputusan penggantian pejabat tidak serta merta menghapus pelanggaran hukum yang telah terjadi.
Pelanggaran Pasal 71 ayat (2) UU Pilkada tetap tercatat dan berakibat hukum meskipun keputusan penggantian pejabat telah dibatalkan.
Pengalaman dari kasus-kasus sebelumnya menunjukkan bahwa pembatalan keputusan tidak menghapus pelanggaran yang sudah terjadi, dan KPU di berbagai daerah perlu memperhatikan hal ini dalam penilaian mereka.
Akhirnya, penting untuk menunggu keputusan KPU pada Pilkada Serentak 2020 untuk melihat apakah akan mengikuti preseden dari Kota Kupang atau Kabupaten Boalemo.
Ini akan menentukan bagaimana pelanggaran serupa akan ditangani di masa mendatang.
Oleh: Dr. Aminuddin Kasim, SH, MH.
Penulis: Adalah Dosen Tetap Fakultas Hukum Universitas Tadulako.