PRONEWS|JAKARTA- Kasus penembakan yang melibatkan anggota TNI-AL dan pemilik rental mobil menjadi sorotan publik.
Insiden ini memunculkan pertanyaan tentang premanisme, prosedur hukum, dan penggunaan senjata api.
Mantan Kepala Badan Intelijen Strategis (Kabais) TNI Laksamana Muda TNI (Purn) Soleman B. Ponto, S.T., M.H., memberikan analisis mendalam terkait kejadian tersebut.
Menurut Ponto, insiden ini bermula dari dugaan penggelapan mobil yang membuat pihak rental memobilisasi massa untuk mencari kendaraan secara paksa tanpa melibatkan polisi.
“Pengerahan massa ini adalah bentuk premanisme yang tidak dibenarkan secara hukum,” ungkap Ponto, Sabtu (11/1).
Pihak rental mendatangi lokasi target dengan belasan orang, yang kemudian terlibat konfrontasi dengan anggota TNI-AL. Anggota TNI tersebut diduga menjadi korban pengeroyokan dan diteriaki maling.
Dalam situasi terdesak, ia melepaskan tembakan, yang menyebabkan pemilik rental tewas.
Ponto menilai bahwa pengerahan massa oleh pihak rental adalah langkah yang keliru dan berbahaya.
“Ketika masalah hukum diselesaikan melalui kekerasan, potensi konflik meningkat.
Sebaiknya pihak rental langsung melaporkan kasus ini kepada kepolisian,” tegasnya.
Langkah tersebut, lanjut Ponto, tidak hanya melanggar hukum tetapi juga berpotensi memicu ketegangan yang tak terkendali.
Ponto juga menjelaskan aspek hukum terkait penggunaan senjata api.
Dalam hukum militer maupun Pasal 49 KUHP, pembelaan diri diakui jika ada ancaman melawan hukum dan tindakan dilakukan secara proporsional untuk menghentikan serangan.
“Namun, penggunaan senjata api harus diperiksa secara ketat.
Jika tindakan tersebut memenuhi syarat pembelaan diri, maka dapat dianggap sebagai alasan pemaaf meskipun tetap melibatkan pelanggaran hukum,” jelas Ponto.
Ponto mengidentifikasi akar masalah terletak pada ketidaktahuan dan ketidakpahaman kedua belah pihak mengenai kapasitas masing-masing.
“Pihak rental tidak mengetahui bahwa mereka menghadapi anggota TNI, sementara anggota TNI mungkin tidak memahami situasi pencarian mobil ini,” ujarnya.
Ia juga menyoroti pentingnya kehadiran polisi sejak awal untuk mencegah eskalasi.
“Dengan melibatkan aparat hukum, konflik fisik seperti ini dapat dihindari,” tambahnya.
Ponto menegaskan bahwa insiden ini menjadi pelajaran penting bagi semua pihak untuk mengedepankan hukum sebagai penyelesaian konflik.
“Ketika hukum dijadikan prioritas, maka kekerasan dan korban jiwa dapat dihindari,” tandasnya.
Ia juga meminta anggota TNI untuk berhati-hati dalam menggunakan kekuatan dan segera melaporkan insiden semacam ini kepada atasan mereka.
Saat ini, kasus tersebut sedang dalam penyelidikan.
Ponto mengingatkan pentingnya proses hukum yang transparan untuk memberikan keadilan kepada semua pihak.
“Proses ini harus menjadi contoh bahwa hukum adalah solusi utama dalam konflik semacam ini,” ujarnya.
Sebagai anggota aktif TNI, pelaku akan menghadapi proses hukum di peradilan militer, meskipun KUHP juga menjadi rujukan hukum.
“Keadilan harus ditegakkan tanpa mengabaikan prosedur hukum yang berlaku,” pungkas Ponto.
[**/ML]