MANADO|ProNews.id – Hari Minggu (10/09) besok, bakal menjadi perayaan pengucapan syukur serentak di Sulawesi Utara.
Hal ini, sebagaimana surat resmi yang telah dikeluarkan Sinode Gereja Masehi Injili di Minahasa (GMIM) sebagai denominasi dengan umat terbesar di Sulut, yang menetapkan 10 September 2023 sebagai hari pengucapan syukur serentak bagi warga jemaatnya di daerah bumi Nyiur Melambai.
Seperti biasa, kegiatan yang dikenal dengan sebutan “Thanksgiving Day” tersebut, selalu banyak menyita perhatian baik masyarakat setempat maupun pendatang dari luar daerah.
Sehubungan hal itu, komunitas program Selamatkan Yaki menghimbau warga Sulut yang merayakannya, agar memegang komitmen untuk memilih daging atau sajian lauk di meja makan dengan mempertimbangkan aspek keseimbangan dan kelestarian alam.
“Yakni dengan pilihan-pilhan lauk atau daging yang tidak masuk dalam kategori terancam punah dan dilindungi,” terang Purnama Nainggolan selaku koordinator edukasi Program Selamatkan Yaki, Jumat (08/09).
Diketahui, lembaga yang digelutinya ini, secara konsisten dan intensif melakukan sosialisasi ke multi stakeholder dalam upaya penyadartahuan tentang perlindungan terhadap satwa liar terancam punah dan dilindungi, seperti Yaki, Kuse Kerdil, Kus Kus Beruang, Babi Rusa, Anoa, dan lainnya.
Ia mengatakan, Sulut ini unik dan menarik kalau berbicara tentang keberadaan Satwa Liar.
“Karena ancaman terhadapnya menjadi sangat kuat, karena indikasi perburuan untuk diperjualbelikan dan dikonsumsi, dan juga karena habitatnya yang rusak. Ini bisa dikatakan kurang baik dibandingkan wilayah lain di Indonesia. Dan kebiasaan konsumsi ini menjadi faktor penting yang memposisikan Sulut menjadi tujuan dalam perdagangan satwa liar dari berbagai provinsi di Sulawesi,” tutur Purnama.
Dikatakannya, dalam beberapa tahun terakhir ini, Selamatkan Yaki meningkatkan kampanye akan kebanggaan yang harusnya kita miliki.
“Yakni bangga tidak berburu, menjual, mengkonsumsi, dan memelihara satwa liar yang terancam punah dan dilindungi,” jelas dia.
Bukan kebanggaan-kebanggaan lainnya, lanjut Nainggolan, yang justru berkonotasi negatif dan buruk bagi lingkungan dan pencitraan Sulawesi Utara.
“Mari jo bekeng Sulut bangga dengan hal positif,” pungkasnya.
(*/Rev)