JAKARTA|ProNews.id – Harapan Himpunan Penghayat Kepercayaan (HPK), agar proses menikah, pengurusan umat yang meninggal, dan termasuk juga pendidikan agama di sekolah dapat dilaksanakan sesuai keyakinan mereka, ditanggapi pihak Kementerian Agama (Kemenag) dengan menyatakan bahwa hal itu bukan kewenangannya.

Melalui Siaran Pers Kemenag, Staf Khusus Menteri Agama bidang Media dan Komunikasi Publik Wibowo Prasetyo menegaskan, Penghayat Kepercayaan adalah binaan Direktorat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan Tradisi Direktirat Jenderal (Ditjen) Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud).

“Kemenag tidak memiliki kewenangan secara langsung untuk melakukan pembinaan terhadap aliran kepercayaan,” ujarnya, Rabu (26/07) di Jakarta.

Menurut dia, aliran kepercayaan saat ini memang sudah dapat dicatatkan dalam kolom KTP. “Pada 2017, Mahkamah Konstitusi telah mengabulkan gugatan empat penghayat kepercayaan, yaitu Nggay Mehang Tana, Pagar Demanra Sirait, Arnol Purba, dan Carlim terkait Pasal 61 yang menjelaskan tentang pengisian kolom agama pada KTP,” beber Wibowo.

Atas gugatan itu, lanjutnya, MK menyatakan bahwa kata ‘agama’ dalam Pasal 61 ayat (1) dan Pasal 64 ayat (1) Undang-undang Nomor 23/2006 tentang Administrasi Kependudukan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak termasuk ‘kepercayaan’.

“Keputusan MK bersifat final dan mengikat sehingga harus dipatuhi. Kementerian Agama tentu mematuhi keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang Aliran Kepercayaan,” jelas dia, sembari menekankan kembali, regulasi mengatur bahwa Penghayat Kepercayaan adalah binaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, bukan Kemenag.

Prasetyo menyebutkan, dalam ketetapan MPR Nomor IV/MPR/ 1978 , Nomor II/MPR/ 1983 dan Nomor 11/ MPR/ 1988 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara antara lain ditetapkan bahwa kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa tidak merupakan agama.

Ditambahkannya, Kemendikbud juga telah menerbitkan Pedoman Pembinaan Teknis Penghayat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Salah satunya, menurut dia, diterbitkan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan pada tahun 1991/1992.

“Dalam bagian pendahuluan pedoman itu dijelaskan bahwa pembinaan penghayat kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dilakukan dalam rangka pembangunan kebudayaan karena kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, dalam kenyataannya memang merupakan bagian kebudayaan nasional yang hidup dan dihayati oleh sebagian bangsa Indonesia,” pungkas Wibowo.

[*/Rev]