JAKARTA|ProNews.id- Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) bergerak menguat di awal pekan ini. Penguatan rupiah ini data ekonomi AS lebih rendah dari yang diperkirakan.

Pada Senin (6/11/2023), nilai tukar rupiah yang ditransaksikan antarbank di Jakarta menguat sebesar 0,87 persen atau 138 poin menjadi 15.590 per dolar AS dari sebelumnya 15.728 per dolar AS.

Pengamat Pasar Uang Ariston Tjendra menjelaskan, rupiah menguat karena data tenaga kerja AS, data Non Farm Payrolls (NFP) edisi Oktober 2023, dan data tingkat pengangguran AS lebih rendah dari ekspektasi.

“Data tenaga kerja AS versi pemerintah AS yang dirilis Jumat 3 November malam kemarin umumnya lebih buruk dari ekspektasi pasar,” ujar dia dikutip dari Antara.

Selain itu data Non Farm Payrolls Oktober dirilis 150 ribu juga lebih rendah dari ekspektasi 180 ribu, dan data tingkat pengangguran 3,9 persen lebih tinggi dari ekspektasi 3,8 persen. Menurut dia, hasil ini mendorong pelemahan dolar AS terhadap mata uang utama dunia dan menguatkan kemungkinan Federal Reserve (The Fed) akan mengakhiri periode bunga tinggi lebih cepat.

Selain sejumlah data ekonomi AS yang di bawah perkiraan, hasil rapat kebijakan moneter AS yang terakhir kemarin juga kurang hawkish. Karena itu, pelaku pasar bertambah yakin masuk ke aset berisiko sehingga dapat mendorong penguatan rupiah.

“Angka-angka data ekonomi AS yang meleset dari perkiraan) mungkin dari kebijakan moneter The Fed sendiri yang menerapkan suku bunga tinggi ke perekonomian AS, sehingga biaya bisnis meninggi yang menyebabkan demand bisa berkurang dan perusahaan menahan ekspansi,” ucapnya.

Melihat sentimen dari dalam negeri, pasar menunggu data Produk Domestik Bruto (PDB) kuartal III/2023. Data yang di atas 5 persen bisa memberikan persepsi positif untuk rupiah. “Hari ini potensi penguatan bisa ke area 15.680 per dolar AS-15.650 per dolar AS, dengan potensi resisten di kisaran 15.800 per dolar AS,” ungkap Ariston.

Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati mengklaim tren pelemahan nilai tukar Rupiah terhadap Dolar Amerika Serikat (USD) masih lebih baik terhadap negara-negara di kawasan Asia Tenggara (ASEAN). Sementara itu, Ringgit Malaysia mengalami pelemahan terbesar hingga 7,82 persen.

Sri Mulyani mencatat, indeks nilai tukar dolar AS terhadap mata uang utama (DXY) pada 18 Oktober 2023 tercatat tinggi di level 106,56. atau menguat 2,93 persen secara year to date (ytd).

“Sangat kuatnya indeks tukar dolar AS ini memberikan tekanan depresiasi terhadap mata uang hampir seluruh mata uang dunia,” katanya dalam Konferensi Pers Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK), di Gedung Bank Indonesia, Jakarta Pusat (3/11).

Sri Mulyani menyebut, mata uang Yen Jepang mengalami pelemahan hingga 12,61 persen terhadap USD. Sementara Dolar Australia mengalami depresiasi atau perlemahan sebesar 6,72 persen. Di kawasan ASEAN, tercatat mata uang Ringgit Malaysia mengalami pelemahan terbesar hingga 7,82 persen. Sedangkan mata uang Bath Thailand melemah sebesar 4,39 persen.

“Adapun, depresiasi nilai tukar Rupiah kita relatif baik yaitu sebesar 2,34 persen,” ungkap Bendahara Negara.

Nilai tukar mata uang rupiah terhadap dolar, selalu mengalami perubahan setiap saat terkadang melemah terkadang juga dapat menguat. Ke depan, pemerintah bersama Bank Indonesia terus memperkuat langkah stabilisasi nilai tukar Rupiah dengan nilai fundamentalnya.

Selain itu, pemerintah terus mendorong masuknya aliran portofolio asing dari luar negeri, serta meningkatkan dan memperluas koordinasi dalam rangka implementasi instrumen penempatan Devisa Hasil Ekspor Sumber Daya Alam (DHE SDA) sejalan dengan PP Nomor 36 Tahun 2023.

“Penguatan harmonisasi kebijakan fiskal, moneter dan sektor keuangan juga akan terus dilakukan untuk memperkuat efektivitas bauran kebijakan makro baik dalam rangka menjaga stabilitas sistem keuangan maupun untuk mendorong akselerasi pertumbuhan ekonomi, ” pungkas Sri Mulyani. (liputan6.com)

[**/ML]