Pembiaran itu tidak sejalan dengan semangat reformasi birokrasi serta pemberantasan korupsi.
“Apa lagi, jika sudah berstatus terdakwa, PNS pejabat yang berstatus terdakwa dapat dilakukan penahanan terhadap yang bersangkutan.
Penahanan tersebut berakibat diberhentikan dari jabatan, tapi statusnya tetap sebagai PNS sampai ada keputusan pengadilan yang berkekuatan tetap.
“Rujukannya jelas yaitu, Undang-Undang no. 43/1999 tentang Perubahan Atas Undang-Undang nomor 8 tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian, ulas Bambang
Lebih lanjut dijelaskan Bambang, dalam Pasal 24 dinyatakan, PNS yang dikenakan penahanan oleh pejabat yang berwajib karena disangka telah melakukan tindak pidana kejahatan, sampai mendapat putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, dikenakan pemberhentian sementara.
Bambang menambahkan, dalam Pasal 23 ayat (5) huruf c disebutkan, seorang PNS yang telah divonis dan mempunyai kekuatan hukum tetap karena kejahatan yang berhubungan dengan jabatannya, diberhentikan dengan tidak hormat sebagai PNS.
“Korupsi merupakan salah satu jenis kejahatan yang dimaksud dalam pasal ini,” tambahnya.
Pembiaran terhadap kasus semacam ini akan menjadi contoh buruk dalam penegakan dan kepatuhan hukum dari Pejabat Pembina Kepegawaian, serta tidak sejalan dalam upaya pemberantasan korupsi.
Selain itu, secara logika, orang yang berstatus tersangka, lebih-lebih menjadi terdakwa akan sulit berkonsentrasi dengan tugas jabatannya.
Apalagi sampai terjadi penahanan badan. “Tidak mungkin yang bersangkutan dapat menjalankan fungsi dalam jabatannya,” urai Bambang.