RERILIGI|PRONEWS- Pentakosta dalam Alkitab sudah dikenal dalam tradisi Yahudi. Dimana, Tuhan menyuruh Musa menetapkan 50 hari sesudah perayaan Paskah peringatan pembebasan dari Mesir.

Kitab Imamat pasal 23 memberi informasi bahwa Perayaan Pentakosta adalah hari raya syukur musim penuaian atau masa panen sehubungan dengan hasil tanah dan pekerjaan mereka yang mayoritas adalah petani.

Sementara di dalam Perjanjian Baru Pentakosta adalah turunnya kuasa Roh Kudus bagi “Israel baru”.

Dimana sagasan tentang fase waktu lima Puluh hari dihitung dari masa Paskah Yesus Kristus.

Memaknai kisah Pentakosta dalam konteks Kisah Para Rasul

Turunnya Roh Kudus merupakan penggenapan janji Yesus Kristus bagi murid-muridNya, pada malam terakhir sebelum Ia ditangkap (Yoh 14:16-17,19:7-8).

Ia menyebut Roh Kudus yang dijanjikan itu sebagai Penolong yakni Roh Kebenaran dan Penghibur.

Ternyata Yesus menjanjikan spirit baru, bagi para murid yang mengalami ketakutan, masa ketika harus ditangkap dan mati, juga masa ketika Ia harus terangkat ke Sorga.

Fenomena alam dalam bentuk lida api, tidak dilihat sebagai ajang pertunjukkan hal adikodrati dan supranatural.

“Inilah Superioritas Kuasa Allah yang harus berdampak bagi murid-murid dan mereka yang berkumpul menanti janji itu.

Massa yang menyaksikan kejadian itu memang sangsi tentang kebenarannya, toh akhirnya mereka tercengang-cengang.

“Tapi bagi Kekristenan inilah tonggak lahirnya spritualitas baru.

Murid-murid yang takut jadi berani, mereka bisa melakukan mujizat sebagai dampak tercurahnya Roh Kudus.

Mereka mengalami kepenuhan, yakni hidup yang melimpah dengan kuasa Ilahi.

Pentakosta menginagurasi lahirnya persekutuan orang-orang percaya kepada Yesus Kritus, inilah fakta yang menandai lahirnya gereja.

Gereja tidak mungkin ada tanpa pencurahan Roh Kudus dan di sinilah juga letak kekuatan gereja, bisa bertahan menghadapi ancaman dan tantangan di sepanjang sejarahnya.

Kekuatan struktur dan financial sebuah gereja tidak boleh menggeser ketergantungannya pada bimbingan Roh Kudus.

Pada aspek yang lain,

Tercurahnya kuasa Roh Kudus tidak harus berimplikasi pada perjuangan untuk menghadirkan jemaat baru, denominasi baru, aliran baru.

Keinginan memisahkan diri dari sebuah persekutuan tubuh Kristus adalah “virus” berbahaya yang menciderai hakekat gereja yang kudus, am dan rasuli.” Ingat!, karena Roh Kudus selalu mempersatukan dalam semangat “kesehatian” bersekutu, bersaksi dan melayani.

Perbedaan suku dan bahasa dapat diatasi, maka perbedaan teologi tentang Roh Kudus, harusnya memperkaya kesaksian gereja bukan menjadi biang perpecahan.

Gereja perdana adalah saksi bahwa perbedaan bahasa, tidak lagi dilihat sebagai kutuk, tetapi diubah jadi sarana berkat.

Perlu juga diingan dalam peristiwa Pentakosta, bahasa mempersatukan mereka yang dulunya terserak-serak, dari Persia sampai ke Arab dengan 16 sukubangsa yang berkumpul di sana.

Mereka berkumpul dalam semangat perdamaian, memupuk kebersamaan dalam bahasa kasih dan menjadi duta bagi sesama hingga bumi ini menjadi satu sebagai KerajaanNya.

“Tapi ingat, “peristiwa Pentakosta yang istimewa bukanlah bahasanya tapi Kuasa-Nya.

Hingga orang tidak salah kaprah bahwa perdebatan tentang bahasa roh, “yang oleh sebagian orang diklaim juga diberikan pada saat itu, tidak boleh mereduksi ke-Ilahian Roh Kudus.

“Berbahasa roh belum tentu memiliki Roh Kudus, sebaliknya dipenuhi Roh Kudus bukan jaminan sesorang langsung bisa menguasai dan fasih berbahasa roh.

Orang boleh rindu berbahasa roh, tapi memiliki Roh Kudus jauh lebih penting dan berguna sebagai prasyarat memahami kehendak Allah.

“Hal inilah yang membuat murid-murid Yesus mengalami transformasi dalam hidup mereka.

Roh Kudus ini juga yang mengubah banyak orang untuk bertobat dan percaya. “Inilah esensi dari Pentakosta yang diurai dalam Kitab Perjanjian Baru, Kisah Para Rasul 2:1-13.

Karena sesungguhnya kepada kita telah diberikan Kuasa untuk menjalani hidup dengan segala kelimpahannya. (**)

Penulis: Pdt. Dr. Yessy Jacob,M.Teol, M.Pd.K