BOGOR|ProNews.id – Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi Sulawesi Utara diwakili Komisioner Divisi Hukum dan Pengawasan, Meidy Y. Tinangon, M.Si mengikuti Bimbingan Teknik (Bimtek) Hukum Acara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Tahun 2024 Angkatan II, yang digelar selama 4 hari (11-14 September 2023) di Pusat Pendidikan (Pusdik) Pancasila dan Konstitusi, Bogor, Jawa Barat.

Disebutkan melalui akun media sosial (medsos) dan laman resmi KPU Prov. Sulut, bimtek dibuka Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Prof. Dr. H. Anwar Usman, SH., MH, Senin (12/09).

Ketua MK menyebut bahwa salah satu kewenangan pihaknya, adalah memeriksa dan memutus sengketa hasil pemilu, di mana posisi KPU sebagai termohon.

Karenanya, ia berharap, KPU bisa mempersiapkan diri mengantisipasi adanya sengketa hasil.

“Baik ada ataupun tidak ada gugatan di MK nantinya, pastinya KPU harus bersiap untuk mempertahankan hasil pekerjaannya. Laksanakan tugas dengan niat untuk beribadah,” ungkap Usman melalui sambutannya di hadapan para peserta bimtek utusan KPU Provinsi se-Indonesia.

Sementara, Ketua KPU, Hasyim Asy’ari mengatakan bahwa kekerasan fisik dalam pemilu makin hari makin berkurang, karena keberatan terhadap hasil disalurkan melalui saluran penyelesaian sengketa secara formal dalam hal ini melalui Mahkamah Konstitusi.

Usai pembukaan kegiatan, peserta langsung disuguhi materi yang disampaikan Hakim MK, Manahan Sitompul dan Saldi Isra tentang Hukum Acara PHPU 2024.

Melalui pemaparan materinya, Manahan menyebut bahwa dasar hukum penyelenggaraan pemilu dalam konstitusi adalah sebagaimana dalam Pasal 22E Ubdang-Undang Dasar (UUD) Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Lebih detail tentang kewenangan MK dalam penyelesaian PHPU diatur dalam UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang MK, sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU No. 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas UU No. 24 / 2003.

Selain itu, sebut dia, kewenangan MK juga diatur dalam UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum sebagaimana telah diubah dengan UU No. 7 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No. 1 Tahun 2022 Tentang Perubahan Atas UU No. 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum.

Diketahui, Mahkamah Konstitusi telah menerbitkan beberapa peraturan terkait dengan hukum acara penyelesaian perselisihan hasil pemilu, masing-masing: Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK) No. 2 Tahun 2023 tentang Tata Beracara Dalam Perkara PHPU Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), PMK No. 3 Tahun 2023 tentang Tata Beracara Dalam Perkara PHPU Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD), dan PMK No. 4 Tahun 2023 tentang Tata Beracara Dalam Perkara PHPU Presiden dan Wakil Presiden.

Berdasarkan dasar hukum yang ada, Sitompul menjelaskan bahwa dalam penyelesaian perkara PHPU anggota DPR dan DPRD, objek sengketanya adalah penetapan perolehan suara hasil pemilu anggota DPR dan DPRD secara nasional oleh KPU, yang memengaruhi perolehan kursi pemohon dan/atau terpilihnya anggota DPR dan/atau DPRD di suatu daerah pemilihan.

“Pemohon dalam PHPU DPR dan DPRD selain partai politik peserta pemilu untuk pengisian keanggotaan DPR dan DPRD, juga perseorangan calon anggota DPR dan DPRD dalam satu partai politik yang sama yang telah memeroleh persetujuan secara tertulis dari ketua umum dan sekretaris jenderal atau sebutan lainnya dari partai politik yang bersangkutan dan dinyatakan dalam permohonannya,” terangnya.

Dijelaskan juga, pemohon untuk Provinsi Aceh, terdiri dari partai politik lokal peserta pemilu untuk pengisian keanggotaan DPRA dan DPRA, serta perseorangan calon anggota DPRA dan DPRK dalam satu partai politik lokal yang sama yang telah memeroleh persetujuan secara tertulis dari ketua umum dan sekretaris jenderal atau sebutan lainnya dari partai politik lokal yang bersangkutan dan dinyatakan dalam permohonannya.

“Pengajuan permohonan disampaikan paling lama tiga kali dua puluh empat jam sejak diumumkan penetapan perolehan suara hasil Pemilu anggota DPR dan DPRD secara nasional oleh termohon yaitu KPU. Adapun jawaban termohon disampaikan paling lambat 1 hari kerja sebelum sidang pemeriksaan persidangan. Hal-hal terkait syarat jawaban merupakan hal yang perlu diperhatikan pihak KPU sebagai Termohon,” ungkap dia lagi.

Sementara itu, Saldi Isra dalam materinya menyebut bahwa posisi KPU sifatnya lebih pada pasif.

KPU tugasnya hanya akan memberikan jawaban terhadap apa yang didalilkan oleh pemohon.

Kalau KPU bisa mengelolah bukti-bukti secara baik, lanjut dia, maka tidak akan ada masalah dalam menjawab permohonan pemohon.

“Sengketa PHPU di MK sebenarnya adalah mempertandingkan bukti-bukti yang dimiliki. Karena itu bukti harus disusun dengan baik, mulai dari tahap awal, karena bisa saja pemohon menyoal terkait dengan proses yang diduga memengaruhi hasil,” ungkap Wakil Ketua MK ini.

(*/Rev)