JAKARTA- Aksi unjuk rasa yang dilakukan Koalisi Ojol Nasional (KON) pada Kamis kemarin di Jakarta menarik perhatian Ketua DPD RI, AA LaNyalla Mahmud Mattalitti.

Ia menilai bahwa aksi ini bukan hanya menyuarakan kepentingan segelintir orang, tetapi menyangkut hajat hidup banyak pekerja di seluruh Indonesia, terutama mereka yang bergantung pada pekerjaan sebagai pengemudi ojek online dan kurir barang.

“Unjuk rasa ini mencerminkan perasaan ketidakadilan yang dialami oleh para mitra pengemudi. Ini bukan hanya isu di Jakarta, tetapi di seluruh daerah. Oleh karena itu, sebagai wakil daerah, DPD RI wajib memberikan perhatian penuh,” ujar LaNyalla, Jumat (30/8/2024).

LaNyalla pun menawarkan konsep “Lima Keadilan” yang menurutnya harus menjadi prinsip utama dalam menyusun regulasi terkait hubungan antara pemerintah, aplikator, dan mitra pengemudi. Konsep ini meliputi Fair Pay (Pembayaran yang Adil), Fair Conditions (Kondisi yang Adil), Fair Contracts (Kontrak yang Adil), Fair Management (Manajemen yang Adil), dan Fair Representation (Representasi yang Adil).

“Semua aturan, baik yang dibuat pemerintah sebagai regulator maupun oleh platform sebagai aplikator, harus berlandaskan pada Lima Keadilan ini.

Ketidakadilan yang dirasakan mitra pengemudi hanya bisa diatasi dengan mengedepankan prinsip-prinsip keadilan ini,” tegas LaNyalla.

Ia menjabarkan lebih lanjut, Fair Pay berarti setiap pekerja harus mendapatkan penghasilan yang layak untuk hidup, termasuk pembayaran tepat waktu untuk semua pekerjaan yang telah diselesaikan.

Fair Conditions menuntut perlindungan bagi pekerja dari risiko kerja, dengan langkah-langkah proaktif dari platform untuk menjaga kesehatan dan keselamatan mereka.

Kemudian, Fair Contracts menekankan pentingnya transparansi dan aksesibilitas kontrak bagi pekerja, sedangkan Fair Management mengharuskan adanya proses yang terdokumentasi dan transparan untuk setiap keputusan yang mempengaruhi pekerja. Terakhir, Fair Representation berarti pekerja harus diberikan ruang untuk mengekspresikan suara mereka, termasuk hak untuk berorganisasi dan bernegosiasi dengan platform.

“Dengan penerapan Lima Keadilan ini, saya yakin mitra pengemudi dan kurir akan merasakan adanya solusi yang adil dan saling menguntungkan,” ujar LaNyalla, yang juga mantan Ketua KADIN Jawa Timur.

LaNyalla juga mengajak Indonesia untuk belajar dari negara-negara lain yang telah lebih dulu menerapkan regulasi terkait pekerja platform. Ia mencontohkan Spanyol, Belanda, dan California di Amerika Serikat, yang telah memberikan hak-hak dan perlindungan lebih kepada pekerja platform.

“Di Spanyol, pengemudi ojol diakui sebagai karyawan sejak 2021, sehingga mereka mendapatkan upah minimum, cuti, dan tunjangan lainnya. Sementara di Belanda, ada undang-undang khusus yang memberikan hak minimum kepada pekerja platform, termasuk transparansi algoritma dan hak untuk berunding bersama,” jelas LaNyalla.

Di California, sejak 2019, pekerja transportasi dan pengantaran berbasis aplikasi diklasifikasikan sebagai kontraktor independen dengan sejumlah tunjangan, termasuk gaji minimum berdasarkan waktu kerja.

LaNyalla juga menegaskan bahwa pengemudi ojol tidak hanya pekerja, tetapi juga menanamkan modal dalam bentuk kendaraan yang menjadi bagian inti dari alat produksi perusahaan aplikator. Oleh karena itu, mereka juga harus dianggap sebagai bagian dari pemilik saham.

Seperti diketahui, Koalisi Ojol Nasional mengajukan enam tuntutan dalam aksinya, termasuk revisi Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika (Permenkominfo) Nomor 01 Tahun 2012 tentang Formula Tarif Layanan Pos Komersial, serta penyeragaman tarif layanan pengantaran barang dan makanan di semua aplikator.

“Legalkan ojek online di Indonesia dengan membuat Surat Keputusan Bersama (SKB) beberapa kementerian terkait.

Ini menjadi langkah penting untuk memberikan kepastian hukum dan keadilan bagi semua pihak,” tandas LaNyalla.

[**/ML]