PRONEWS | MANADO – Kasus dugaan megakorupsi proyek Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Talaud berkapasitas 2×3 MW kembali mencuat setelah ditemukan kerugian negara mencapai Rp277 miliar.
Proyek yang dimulai sejak 2012 dengan harapan menjadi solusi pasokan listrik di Kabupaten Talaud, justru berubah menjadi polemik besar akibat mangkrak selama bertahun-tahun.
Aktivis antikorupsi kini mendesak aparat hukum untuk segera bertindak, bahkan bersiap membawa kasus ini ke Bareskrim Polri jika tidak ada tindak lanjut dari Polda Sulut.
Jeffrey Sorongan, seorang aktivis antikorupsi, secara tegas menyatakan bahwa proyek mangkrak tersebut merupakan indikasi kuat adanya praktik korupsi berjemaah.
“Mangkrak itu bahasa lain dari korupsi. Apalagi Rp122 miliar sudah keluar dan tidak ada hasil, ini jelas korupsi sistemik,” ujarnya.
Menurut data, proyek ini dikerjakan oleh konsorsium PT Boustead Maxitherm Industries dengan kontrak awal sebesar USD6,12 juta dan Rp84,61 miliar.
Namun, nilai tersebut terus membengkak menjadi USD4,96 juta dan Rp106 miliar akibat 12 kali amandemen kontrak.
Hingga kontrak diputus pada September 2019, progres fisik proyek baru mencapai 91,52% meskipun realisasi pembayaran telah mencapai Rp122,61 miliar.
Ironisnya, audit terhadap biaya proyek hingga akhir 2022 mencatat pengeluaran fantastis sebesar Rp276,6 miliar.
Hal ini memicu tanda tanya besar mengenai pengelolaan anggaran dan lemahnya pengawasan dari pihak terkait.
“PLN seolah melindungi kerugian ini, padahal jelas ada unsur wanprestasi dan ketidakmampuan kontraktor,” tambah Sorongan.
Mangkraknya proyek ini tak hanya membebani keuangan PLN, tetapi juga masyarakat Talaud yang harus menanggung defisit daya sebesar -1,8 MW.
Akibatnya, cadangan listrik (reserve margin) di wilayah tersebut berada pada angka kritis, yakni -31%.
Berdasarkan simulasi, ketidaksiapan PLTU Talaud menyebabkan PLN kehilangan potensi penghematan hingga Rp63,34 miliar per tahun.
“Proyek ini gagal total. Dampaknya langsung dirasakan masyarakat Talaud yang hingga kini kesulitan mendapatkan pasokan listrik stabil,” tegas Sorongan.
Proyek ini juga diwarnai berbagai kendala, seperti pembebasan lahan, permasalahan tata ruang wilayah (RTRW), dan lemahnya kemampuan kontraktor.
Bahkan, pencairan bank garansi sebesar Rp9,3 miliar melalui Bank BNI dinilai tidak cukup menutupi kerugian yang sudah terjadi.
Rencana awal menyebutkan proyek ini harus selesai pada 15 Desember 2018 sesuai dengan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2019-2028.
Namun, hingga kini tidak ada kejelasan kapan proyek tersebut akan dilanjutkan.
PLN sebelumnya menganggarkan tambahan Rp136,97 miliar untuk menyelesaikan proyek ini dengan target operasi pada Maret 2023.
Sayangnya, target tersebut kembali meleset tanpa adanya perkembangan signifikan.
Berbagai pihak mendesak agar proyek PLTU Talaud diaudit secara menyeluruh untuk mengungkap dugaan penyimpangan yang terjadi.
Aparat penegak hukum diharapkan segera bertindak untuk memastikan tidak ada lagi anggaran negara yang terbuang sia-sia.
“Kita tidak bisa membiarkan anggaran sebesar ini hilang begitu saja. Ini tanggung jawab moral dan hukum untuk menyelesaikan kasus ini,” pungkas Sorongan.
Proyek PLTU Talaud kini menjadi simbol kegagalan pengelolaan infrastruktur strategis di Indonesia.
Jika tidak segera diselesaikan, proyek ini hanya akan menjadi catatan buruk dalam sejarah pembangunan energi nasional.
Aparat penegak hukum dan instansi terkait diharapkan dapat bertindak tegas demi mengembalikan kepercayaan masyarakat dan mengamankan aset negara.
[**/WW]