PRONEWS|JAKARTA – Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian memberikan peringatan tegas kepada pemerintah daerah (Pemda) terkait penggajian tenaga honorer.
Dalam Rapat Koordinasi (Rakor) bersama Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (MenPAN RB) dan Kepala Badan Kepegawaian Negara (BKN), Tito menyebut bahwa penggajian tenaga honorer oleh Pemda di luar mekanisme yang ditetapkan dapat menjadi pelanggaran hukum.
Rakor yang digelar pada Rabu, 8 Januari 2025 ini diikuti oleh seluruh kepala daerah, penjabat (Pj.), dan jajaran terkait.
Dalam forum tersebut, pembahasan utama adalah solusi atas jumlah tenaga honorer yang tidak sebanding dengan formasi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK).
Dalam laporan KemenPAN RB per 7 Januari 2025, jumlah tenaga honorer di Pemprov Jawa Timur mencapai 20.483 orang.
Namun, formasi PPPK yang tersedia hanya 3.335, menyisakan selisih sebanyak 17.147 tenaga honorer yang tidak tertampung.
Sekretaris Daerah (Sekda) Jawa Timur dalam Rakor menjelaskan bahwa untuk menutupi kekurangan ini, Pemprov menggunakan anggaran belanja barang dan jasa untuk menggaji tenaga honorer.
Langkah ini diambil agar tidak melebihi batas anggaran belanja pegawai yang dibatasi sebesar 30% dari APBD.
Menanggapi hal tersebut, Tito menekankan bahwa seluruh tenaga honorer yang masih digaji Pemda wajib diangkat menjadi PPPK Paruh Waktu melalui proses seleksi formal.
“Tidak bisa menentukan sendiri. Kalau dijadikan PPPK Paruh Waktu, harus melalui proses pendaftaran dan seleksi sesuai aturan,” tegas Tito.
Ia juga memperingatkan bahwa Undang-Undang Aparatur Sipil Negara (ASN) Nomor 20 Tahun 2023 telah melarang pengangkatan tenaga honorer baru di instansi pemerintah.
Jika BPK menemukan pelanggaran dalam penggajian tenaga honorer, kasus hukum dapat muncul.
Mendagri meminta Pemda menyelesaikan penataan tenaga honorer melalui mekanisme PPPK sebelum batas waktu yang ditentukan.
Pemerintah pusat telah memberikan solusi melalui program PPPK untuk memastikan keberlanjutan tenaga kerja yang telah lama mengabdi.
Namun, Tito menegaskan bahwa pengangkatan tenaga honorer baru setelah pelaksanaan seleksi PPPK adalah pelanggaran yang tidak dapat ditoleransi.
“Persoalan tenaga honorer ini ibarat bom waktu yang harus segera diselesaikan. Jangan tunggu meledak,” katanya.
Ia juga meminta kepala daerah untuk memprioritaskan pengangkatan tenaga honorer yang sudah lama mengabdi sebelum Undang-Undang ASN disahkan, meski belum memenuhi semua kriteria.
Mendagri menggarisbawahi pentingnya sinergi antara pemerintah pusat dan daerah dalam menyelesaikan permasalahan ini.
“Pemerintah daerah harus memanfaatkan kesempatan yang diberikan.
Fokus utama adalah menata tenaga kerja yang ada, bukan menambah beban dengan pengangkatan baru,” ujar Tito.
Dengan kebijakan ini, diharapkan kejelasan status tenaga honorer di seluruh Indonesia dapat terwujud, sekaligus mencegah terjadinya pelanggaran hukum yang merugikan negara dan masyarakat.
[**/IND]