TANGERANG – Polresta Bandara Soekarno-Hatta berhasil menggagalkan keberangkatan 14 calon pekerja migran Indonesia (CPMI) ilegal yang hendak menuju Kamboja. Dalam operasi tersebut, dua orang pria berinisial MZ dan PJ, yang diduga sebagai pengatur keberangkatan para CPMI, juga turut diamankan.

“Operasi Pencegahan Keberangkatan CPMI Non-Prosedural ini kami lakukan untuk mencegah pengiriman tenaga kerja ilegal. Dari operasi ini, kami berhasil mengamankan para korban dan dua orang yang memberangkatkan mereka,” ungkap Kasat Reskrim Polresta Bandara Soetta, Kompol Reza Fahlevi, pada Senin (16/09/2024).

Operasi tersebut dilakukan di Terminal 2 dan Terminal 3 Bandara Soekarno-Hatta selama beberapa hari. Pada Rabu (11/09/2024), delapan CPMI ilegal berhasil diamankan di Terminal 2. Kemudian, pada Jumat (13/09/2024), satu CPMI ilegal ditangkap, bersama dengan dua tersangka MZ dan PJ. Selanjutnya, dua CPMI ilegal diamankan di Terminal 2 pada Sabtu (14/09/2024), dan tiga lainnya di Terminal 3 pada malam hari.

“Kasus ini terungkap berkat informasi dari masyarakat terkait dugaan keberangkatan CPMI non-prosedural melalui Bandara Soetta. Saat diperiksa, para CPMI tidak dapat menunjukkan dokumen resmi untuk bekerja di luar negeri,” jelas Reza.

Para korban mengaku ditawari pekerjaan di Kamboja melalui aplikasi Telegram, mulai dari bekerja di perusahaan, pramusaji restoran, hingga menjadi operator layanan (customer service) dan admin permainan online yang terindikasi terkait tindak pidana perjudian.

Pihak kepolisian juga mengamankan barang bukti berupa paspor dan boarding pass dengan rute Jakarta-Kuala Lumpur-Phnom Penh. Saat ini, para CPMI tersebut telah dipulangkan ke kampung halaman mereka masing-masing dan berstatus sebagai saksi.

Sementara itu, MZ dan PJ, sebagai pengatur keberangkatan, dijerat dengan Pasal 83 Jo Pasal 68 dan/atau Pasal 81 Jo Pasal 69 Undang-Undang RI No. 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia, serta Pasal 4 Undang-Undang RI No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO). Keduanya terancam hukuman 10 tahun penjara dan denda hingga Rp15 miliar.

[**/VOC]