JAKARTA- Anggota Komisi VII DPR RI, Dyah Roro Esti, menyoroti rencana pembatasan kebijakan bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi yang akan diterapkan pada 1 Oktober 2024.

Ia menegaskan bahwa subsidi yang diberikan pemerintah harus tepat sasaran dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat yang paling membutuhkan.

“Yang terpenting adalah niat dan tujuan dari kebijakan tersebut semata-mata untuk menyejahterakan masyarakat. Bukan soal bentuk dari kebijakan itu, apakah itu berbentuk Peraturan Menteri (Permen) atau Peraturan Pemerintah (PP),” tegas Roro usai Sidang Paripurna HUT DPR RI ke-79 di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Kamis (29/8).

Roro menekankan bahwa setiap kebijakan, terutama terkait subsidi, harus didasarkan pada data yang akurat dan dikaji ulang untuk memastikan bahwa subsidi tersebut benar-benar tepat sasaran. Menurutnya, ada kebutuhan mendesak untuk mengevaluasi apakah pemberian subsidi dalam bentuk barang sudah tepat atau jika mungkin perlu beralih ke subsidi individu.

“Jika subsidi diberikan secara langsung kepada individu, kita perlu mempertimbangkan kategori mereka, apakah dari kalangan mampu atau tidak mampu, dan bagaimana definisi dari kategori tersebut. Biasanya, kita mengandalkan data dari Kementerian Sosial,” tambah politisi dari Fraksi Partai Golkar ini.

Namun, Roro juga mengungkapkan kekhawatirannya terkait keakuratan data dari Kementerian Sosial. Menurutnya, data tersebut harus selalu diperbarui mengingat dinamika populasi Indonesia yang terus berubah, di mana seseorang yang sebelumnya tergolong miskin bisa saja sudah sejahtera, atau sebaliknya.

“Tidak bisa dipisahkan, bagaimana Komisi VII ke depannya harus lebih berkoordinasi dalam hal subsidi BBM, subsidi listrik, dan subsidi lainnya yang berkaitan dengan energi. Kerja sama dengan Kementerian Sosial sangat penting agar tujuan dari kebijakan tersebut benar-benar untuk menyejahterakan rakyat,” paparnya.

Pemerintah berencana memperketat aturan kendaraan yang boleh menggunakan BBM bersubsidi. Aturan ini akan diterbitkan pekan depan, tepatnya pada awal September 2024. Kebijakan ini muncul sebagai respons atas banyaknya kendaraan mewah yang masih menggunakan BBM bersubsidi.

Berdasarkan data tahun 2022, sebanyak 95 persen atau lebih dari 15 juta kiloliter (KL) solar subsidi dinikmati oleh 60 persen masyarakat berpenghasilan teratas.

Hal yang sama terjadi dengan Pertalite, di mana 80 persen atau lebih dari 19 juta KL dinikmati oleh kelompok yang sama.

Dengan aturan baru ini, sekitar 7 persen kendaraan yang sebelumnya dapat membeli BBM bersubsidi akan dilarang melakukannya.

Kendaraan-kendaraan yang termasuk dalam kelompok 7 persen tersebut adalah golongan kendaraan mewah.

Roro berharap bahwa kebijakan ini akan lebih mengarahkan subsidi ke kelompok yang benar-benar membutuhkan, sehingga tujuan utama untuk menyejahterakan masyarakat dapat tercapai dengan lebih efektif.

[**/TAK]