Irawan mengungkapkan bahwa denda damai, yang dikenal juga dengan istilah schikking, hanya bisa diterapkan dalam kasus-kasus tindak pidana ekonomi yang merugikan perekonomian negara.

Hal ini diatur dalam prinsip oportunitas, yang memberikan kesempatan kepada Jaksa Agung untuk menghentikan perkara dengan cara yang dianggap lebih menguntungkan, terutama dalam perkara perpajakan, kepabeanan, dan tindak pidana ekonomi lainnya.

Namun, Irawan mengingatkan bahwa perlu ada penjelasan lebih lanjut mengenai cakupan tindak pidana yang dapat dikenakan denda damai.

“Apakah penggunaan denda damai dalam tindak pidana ekonomi juga dapat dilakukan untuk tindak pidana yang merugikan perekonomian negara?” ujarnya.

Irawan juga menyinggung soal perbedaan pandangan terkait tindak pidana korupsi, yang pada dasarnya juga merugikan perekonomian negara.

Ia menganggap bahwa kasus-kasus yang merugikan negara, seperti kasus Harvey Moeis, juga bisa masuk dalam kategori tindak pidana yang seharusnya mendapatkan penanganan dengan kewenangan Jaksa Agung.

Hal ini mengingat dampak ekonomi yang ditimbulkan dari berbagai tindak pidana tersebut.

Menyikapi hal tersebut, Irawan menilai penting untuk segera dilakukan revisi terhadap Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi agar selaras dengan perkembangan hukum yang lebih menitikberatkan pada pemulihan aset dan kerugian negara.

Ia berharap Pemerintah dan DPR dapat segera menyelaraskan ketentuan ini dengan arah politik hukum yang diinginkan, sebagaimana yang disampaikan oleh Presiden Prabowo Subianto, yang lebih mengutamakan asset/fiscal recovery.

“Pemerintah dan DPR perlu memperjelas dan memperinci kewenangan Jaksa Agung dalam menangani perkara ini, baik berdasarkan prinsip dominus litis dan/atau prinsip opportunitas,” kata Irawan.

Sebagai anggota Baleg DPR RI, Irawan menegaskan bahwa meskipun wacana yang disampaikan oleh Menkum tidak sepenuhnya salah, namun undang-undang yang ada perlu diperjelas dan dipertegas.

Salah satu langkah yang diperlukan adalah melakukan revisi terhadap peraturan yang ada untuk menghindari adanya penafsiran yang keliru dalam penerapan denda damai, khususnya terkait koruptor dan tindak pidana ekonomi lainnya.

Dengan demikian, Irawan menekankan bahwa wacana mengenai denda damai untuk koruptor perlu dikaji lebih dalam agar dapat diterapkan dengan tepat dan tidak menyalahi ketentuan hukum yang berlaku.

[**/TAK]