PRONEWS, TOMOHON – Polemik pergantian pejabat di lingkungan Pemerintah Kota Tomohon yang dilakukan oleh Wali Kota Caroll Senduk terus menjadi sorotan menjelang Pilkada 2024.
Mutasi yang terjadi pada 22 Maret 2024 itu kini diduga melanggar Pasal 71 ayat (2) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada, yang melarang kepala daerah melakukan pergantian pejabat enam bulan sebelum penetapan calon, kecuali dengan persetujuan tertulis dari Menteri Dalam Negeri (Mendagri).
Langkah Wali Kota Caroll Senduk tersebut menyeret dirinya ke dalam pusaran polemik hukum dan politik, mengingat ia kembali mencalonkan diri di Pilkada Tomohon 2024 bersama Sendy Rumajar sebagai calon wakilnya.
Sebelumnya pengamat politik Universitas Kristen Satya Wacana, Johanes Romeo, menilai tindakan tersebut berpotensi membatalkan pencalonan Caroll sebagai petahana, sebagaimana terjadi pada kasus Bupati Boalemo pada Pilkada 2017.
Pasal 71 ayat (2) UU Pilkada secara tegas menyebutkan bahwa:
“Gubernur atau Wakil Gubernur, Bupati atau Wakil Bupati, dan Wali Kota atau Wakil Wali Kota dilarang melakukan penggantian pejabat 6 (enam) bulan sebelum tanggal penetapan pasangan calon sampai dengan akhir masa jabatan, kecuali mendapat persetujuan tertulis dari Menteri.”
Melanggar ketentuan ini dapat berujung pada pembatalan pencalonan, sebagaimana termuat dalam Pasal 190 UU Pilkada yang mengatur sanksi pidana penjara hingga enam bulan dan/atau denda maksimal Rp6 juta bagi pelanggar.
Caroll Senduk dalam surat resmi kepada Mendagri mengklaim tidak memiliki niat melanggar aturan.
Ia berdalih bahwa mutasi pejabat yang dilakukan sebelumnya didasarkan pada tafsir bahwa batas pelaksanaan mutasi adalah 22 Maret 2024, sebelum pemberlakuan larangan.
Namun, Mendagri Tito Karnavian melalui surat nomor 100.2.1.3/1575/SJ tanggal 29 Maret 2024 mempertegas larangan tersebut, dan meminta pencabutan pelantikan pejabat yang telah dilakukan.
“Tidak ada unsur kesengajaan. Kami mengacu pada interpretasi waktu yang ternyata berbeda dengan ketentuan dari Mendagri,” ujar Caroll dalam suratnya.
Kasus serupa terjadi pada Pilkada Kabupaten Boalemo 2017, di mana calon petahana dicoret oleh KPU atas perintah Mahkamah Agung (MA).
Dalam putusan No. 570 K/TUN/Pilkada/2016, MA menilai petahana terbukti melakukan mutasi ASN tanpa izin Mendagri.
Keputusan tersebut dijadikan yurisprudensi bagi kasus serupa, menegaskan risiko hukum yang dihadapi oleh calon petahana yang melanggar aturan.
Ketua Bawaslu, Rahmat Bagja, juga mengingatkan bahwa pelanggaran semacam ini berpotensi menimbulkan sengketa dalam proses Pilkada dan mencederai prinsip demokrasi yang berintegritas.
“Kami akan memastikan seluruh tahapan pemilihan berjalan sesuai aturan hukum dan mengedepankan integritas,” tegasnya.
Jika terbukti bersalah, Caroll Senduk berisiko dibatalkan pencalonannya sebagai calon Wali Kota Tomohon oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Situasi ini membuka ruang bagi para penantang politik untuk mendapatkan keuntungan elektoral.
Kasus ini tidak hanya akan menentukan nasib politik Caroll Senduk tetapi juga menjadi pengingat tegas bagi calon petahana lain di seluruh Indonesia untuk mematuhi aturan hukum yang berlaku.
Kasus ini menggambarkan betapa ketatnya aturan mengenai netralitas kepala daerah dalam Pilkada.
Sebagai pejabat publik, kepala daerah diharapkan mengutamakan kepentingan hukum dan integritas demokrasi, bukan sekadar strategi politik.
Apakah Caroll Senduk akan bertahan dari badai hukum ini, atau justru gugur di tengah jalan? Waktu yang akan menjawab.
[**/ARP]