MANADO– Kasus dugaan manipulasi plot tanah kembali memanaskan situasi di Kota Manado, Sulawesi Utara.
Praktik yang melibatkan oknum tertentu, termasuk diduga seorang bernama Johan, kini menjadi sorotan publik setelah seorang warga, Rosye Sondakh, melaporkan dugaan kecurangan terkait tanah miliknya di kawasan Kairagi Dua.
Rosye menduga ada permainan mafia tanah di balik pemetaan ulang tanahnya oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) Manado.
Ia menyebutkan bahwa tanahnya tiba-tiba berpindah lokasi dalam sertifikat baru yang diterbitkan atas nama pihak lain.
Menurut Rosye, tanah miliknya awalnya berada dalam hamparan yang menjadi bagian dari lokasi Johan.
Namun, dalam sertifikat baru, tanah tersebut dipindahkan ke lokasi lain yang kini menjadi jalan umum.
Hal ini tidak hanya merugikan secara material tetapi juga melanggar hak kepemilikannya.
“Saya punya bukti kuat, termasuk dokumen resmi dan rekaman percakapan dengan pihak BPN.
Awalnya mereka mengakui posisi asli tanah saya, tapi tiba-tiba semuanya berubah.
Apa ini kesalahan administrasi atau ada permainan di balik layar?” ujar Rosye kepada media, dengan nada penuh kekecewaan.
Bersama tim kuasa hukumnya, Rosye menyiapkan laporan resmi yang akan diajukan ke Kepolisian Daerah Sulawesi Utara.
Mereka juga mempertimbangkan melibatkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk mengungkap jaringan mafia tanah yang diduga beroperasi di balik kasus ini.
Tim hukum Rosye merinci sejumlah potensi pelanggaran hukum, antara lain:
- Pemalsuan Dokumen (Pasal 263 KUHP): Dugaan pemalsuan dokumen seperti sertifikat tanah yang diterbitkan atas nama Johan, dengan ancaman hukuman hingga enam tahun penjara.
- Pelanggaran UU Agraria: Manipulasi lokasi tanah melanggar Pasal 19 ayat (1) UU Pokok Agraria yang mengatur kepastian hukum atas tanah.
- Maladministrasi (UU No. 30 Tahun 2014): Keputusan sepihak oleh oknum BPN diduga mengandung konflik kepentingan dan membuka peluang pemberian sanksi administratif.
- Penggelapan Hak atas Tanah (Pasal 385 KUHP): Menghilangkan hak atas tanah orang lain secara melawan hukum dapat dihukum hingga empat tahun penjara.
Rosye juga menyerukan agar korban lain dari praktik mafia tanah berani bersuara.
“Saya yakin banyak orang yang mengalami hal serupa tapi takut melapor.
Kita harus melawan ketidakadilan ini bersama,” tegasnya.
Ia berharap kasus ini menjadi momentum untuk reformasi di sektor agraria, khususnya peningkatan transparansi dalam pengelolaan sertifikat tanah.
Digitalisasi sistem dan pengawasan ketat dinilai dapat meminimalkan peluang manipulasi oleh pihak tak bertanggung jawab.
Kasus ini memicu keprihatinan mendalam terhadap keberadaan mafia tanah yang diduga memiliki jaringan kuat di berbagai lembaga, termasuk BPN.
Jika tidak ditangani serius, kasus ini dapat memperburuk citra lembaga pemerintah yang seharusnya melindungi hak masyarakat.
Publik kini menanti langkah tegas aparat penegak hukum dan pemerintah untuk membongkar kasus ini hingga tuntas.
Jika berhasil diungkap, kasus ini diharapkan menjadi tonggak penting dalam upaya pemberantasan mafia tanah dan reformasi agraria di Indonesia.
[**/ARP]